Sabtu, 08 September 2012

Mencari Pemimpin Sejati











Banyak orang berebut menjadi pemimpin, dari berebut menjadi kepala desa hingga menjadi presiden. Bahkan cara-cara manipulatif telah dihalalkan berkedok pengabdian. Setelah terbukti gagal pun, hampir-hampir tidak ada pemimpin yang rendah hati mengakuinya. Berbagai alibi dijadikan kembing hitam, bahkan tidak malu (dari kegagalan) untuk tetap bertahan.

Hari ini, sepertiga dari bupati/walikota dan hampir setengah gubernur tersangkut masalah korupsi di KPK. Kita menunggu waktu dan berhitung, berapa yang akhirnya turun derajat menjadi warga binaan di lembaga pemasyarakatan.

Namun, ada kepemimpinan yang manusia enggan memperebutkannya. Jangankan diperebutkan, diberikan pun manusia seringkali menolak. Bukan karena alasan mulia (takut memikul amanah), namun semata karena kepemimpinan ini pengabdian, tidak digaji, namun harus nombok. Tidak ada ruang untuk korupsi, yang ada tuntutan berkorban waktu dan harta.

Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat.”(HR. Ahmad).

Kepemimpinan yang diperebutkan adalah kepemimpinan struktural. Pemimpin yang diangkat (dilantik) dengan seperangkat kekuasaan (aturan) dan fasilitas (gaji, dll). Kepemimpinan yang dihindari adalah kepemimpinan sosial. Pemimpin yang cukup ‘diamini’ karena pengorbanan pikiran, waktu dan hartanya. Mereka adalah para Nabi dan Rasul, Mujahidin, Kiai, Ketua RT, Aktivis Pemuda, Aktivis Lembaga Sosial, Guru TPA, Takmir Masjid, Relawan Bencana, dll.

Pemimpin sosial, semata-mata mengabdi untuk perbaikan dan pemberdayaan masyarakat. “Aku (Syu’aib) tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan” (Huud,11:88). “Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Al-A’raaf,7:170). “Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan” (al-Baqoroh,2:220)

Mari kita belajar dari lebah.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan tempat yang dibikin manusia.” Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia” (Q.S. al-Nahl,16: 68-69).

Lebah memiliki jasa besar bagi kemanusiaan. Bagaimanakah jika lebah diwahyukan sifat ‘ngambek’ mengabdi untuk manusia? Lalu, apakah diri kita berjasa bagi kemanusiaan atau menjadi beban dari kemanusiaan?

Kanjeng Nabi berwasiat, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”. Padahal Allah berfirman tentang umat Islam “kuntum khoiro ummatin ukhrijat li al-nasi”(kalian umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia). Allah telah mewariskan kepada umat ini, ajaran terbaik. Benarkah umat Islam hari ini paling berjasa (terbaik) bagi kemanusiaan di bumi?

Di sisi lain, Allah membenci orang-orang yang melampaui batas yang disifati-Nya, “Alladzina yufsiduuna fi al-ardhi wa la yushlihuun” (yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan). Apakah kita termasuk pribadi yang berbuat perbaikan atau kerusakan bagi kemanusiaan?

Islam lahir, bukan untuk ‘arogansi’ Islam itu sendiri. Islam adalah rahmat lil ‘alamiin. Islam memiliki kepentingan terhadap kemanusiaan semesta, bukan terbatas kepada manusia yang beragama Islam. Banyak sekali perintah pengabdian dan berbuat adil dalam Islam yang bersifat universal (bagi seluruh agama).

Mejadi Pemimpin Sosial

Coba kita hitung berapakah jumlah sekolah negeri dan sekolah swasta di Indonesia? Bayangkan pula, jika tidak ada ‘relawan’ yang bersedia naik ke mimbar khutbah Jum’at dan menunggu pegawai Kementerian Agama datang. Coba kita renungkan, bila di suatu desa tidak ada pertemuan (perkumpulan) kecuali dibalai desa.

Pertemuan-pertemuan RT, arisan PKK, rapat karang taruna, hingga pengajian-pengajian di kampung itulah yang menjamin masyarakat aman dan damai. Pemimpin-pemimpin sosial inilah sesungguhnya yang setiap saat menjadi pelayan masyarakat. Mereka mendengar dan menyelesaikan berbagai problem kemasyarakatan secara langsung.

“Jibril selalu menasihatiku untuk berlaku dermawan terhadap para tetangga, hingga aku ingin memasukkannya ke dalam kelompok ahli waris seorang muslim”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Masyarakat akan kuat dan maju, bila kepemimpinan sosial tumbuh. Kepemimpinan sosial yang lemah akan menghasilkan kepemimpinan structural (presiden hingga kepala desa) yang tidak memiliki kompetensi. Lemahnya kepemimpinan sosial kita, ditandai dengan terlibatnya ‘pemimpin-pemimpin sosial’ itu sendiri dalam jual beli suara pemilu dan pemilukada.

Setiap Muslim terikat amanat untuk mengadakan perbaikan, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, namun untuk kepentingan umat. Imam Ali r.a pernah berwasiat, ‘kejahatan yang terorganisir akan dikalahkan oleh kebaikan yang tidak terorganisir’.

Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu” (Al-Hasyr,59:14)

Mari kita mulai dengan membentuk kelompok-kelompok kebaikan. Tidak harus terdiri dari 30 anak, mungkin 10 anak. Tidak harus menunggu 10, kenapa tidak dimulai dari 3 saja?. Mari Berbuat!

“Ingatlah bahwa 40 rumah itu tetangga” (H.R Thabrani)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes