Sabtu, 08 September 2012

Taufik Efendi dan Mimpi


















Tulisan ini berkisah tentang saudara Taufiq Effendi, tuna netra yang berhasil menyabet 8 beasiswa ke luar negri, yang tertulis di http://motivasibeasiswa.org. Ada banyak pelajaran berharga dari kisahnya, utamanya adalah kekuatan MIMPI. Berawal dari mimpi, banyak hal yang terkabulkan, hatta dalam hal-hal yang sebelumnya tidak rasional mengingat tingginya mimpi dan terbatasnya kekuatan diri untuk mewujudkannya, tetapi itulah hebatnya mimpi. Imposible is nothing, mungkin slogan adidas bisa mewakili hal itu. Ah, bukankah berabad lamanya Allah pernah berfirman di dalam hadits qudsi, “ana inda zhanni abdî, Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” Maka, bermimpilah….., dan tulislah mimpi-mimpimu itu, kemudian berAKSIlah! Semoga kisah yang berawal dari mimpi ini memberikan banyak kemanfaatan. Akhukum fillah, el afifi.

Hari ini aku bergembira. Aku sedang di kantor dan sedang membuka akun emailku. Tiba-tiba, Mas Andi Arsana, dosen UGM yang sedang merampungkan PhD-nya di University of Wollongong Australia, seorang yang tulus memberikan semangat dan dukungan untuk menggapai sukses, baru saja mengirim sebuah email. Beliau menawariku untuk mengirimkan tulisan pengalaman perjuangan hidupku hingga akhirnya aku berhasil memperoleh beasiswa luar negeri. Beliau sampaikan juga bahwa tulisan tersebut akan dimuat di dalam sebuah buku bersama dengan tulisan dari kontributor lain dan akan didistribusikan untuk memotivasi masyarakat Indonesia

Aku senang dan aku bahagia. Aku ingin kelompok masyarakat yang diberikan ujian hidup sama sepertiku dapat segera bangkit dari keterpurukan dan kembali menapaki anak tangga kesuksesan. Aku ingin masyarakat yang tidak mengalami ujian hidup yang aku alami dapat membantu memperluas penyebaran informasi ini dan memiliki sikap yang lebih positif dan membangun terhadap kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus. Aku segera membalas emailnya dan mulai mengingat-ingat lembaran-lembaran perjuangan hidupku yang pelik dan penuh dengan air mata hingga akhirnya aku berhasil memenangkan delapan beasiswa luar negeri. Aku mulai kisahku dengan masa-masa paling sulit dalam hidupku.

Tiga tahun telah berlalu. Makin hari aku makin gila. Beberapa kali menjalani operasi menyambungkan syaraf mata dan menjahit retina tak juga membuahkan hasil. Beraneka ragam pengobatan alternatif dari berbagai negara tak juga mengembalikan penglihatanku.Setiap hari aku mencoba menghibur diri. Aku berpura-pura melakukan rutinitasku sebelum penglihatanku hilang. Aku bangun pagi, mandi, sholat subuh, mengenakan seragam sekolah, memakai sepatu, mencium tangan kedua orangtuaku untuk pamit ke sekolah. Namun, aku melangkah ke depan rumah dan masuk ke kamar dan menghambur ke atas ranjang dengan banjir air mata. Tiap malam aku tak bisa memejamkan mata. Aku berbicara sendiri seolah-olah sedang konsultasi dengan banyak ahli mata. Aku terpisah dengan dunia luar dan terpuruk. Aku terputus dengan sorak-sorai kegembiraan masa remaja. Hari-hari terasa berlalu begitu lambat. Aku sesak, aku frustrasi, aku ingin bisa melihat lagi, aku ingin bersekolah lagi.

Kedua orang tuaku pun ikut mengalami depresi, terutama ayahku. Setiap hari beliau pulang mengajar, tatapannya kosong. Beliau masuk kamar, berbaring, dan termenung memandang langit-langit rumah. Beliau terus membuka matanya dan tak bergeming hingga adzan Isya berkumandang. Beliau tertekan, beliau ditempa ujian hidup yang pelik. Anak bungsunya tak bisa melihat lagi. Pinjaman Bank DKI untuk biaya kuliah kedua kakakku di UI habis untuk membiayai pengobatanku. Aku tak juga sembuh. Kedua kakakku butuh biaya. Ayah tak mampu membayar cicilan hutang bank dan beliau masih harus mencari uang untuk kuliah dan biaya hidup kedua kakakku yang tinggal di dekat kampus. Ayahku tertekan.

Keceriaan ibuku tercinta pun seperti sirna lenyap begitu saja. Beliau sering terlihat murung. Beliau sering membisu, tak banyak berkata-kata. Isakan tangis dari kerongkongannya terdengar tiap kali beliau sholat. Linangan air mata beliau selalu membasahi mukena dan sajadahnya. Beliau belum sanggup menerima kenyataan bahwa anak bungsunya harus menjalani sisa kehidupannya tanpa penglihatan. Beliau belum yakin aku akan sanggup dengan ujian hidup seperti ini. Namun beliau berusaha untuk tetap tegar. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, beliau mengurusku, mengantarku menjalani berbagai pengobatan dan terus menyemangatiku untuk terus berdoa agar aku sembuh.

Hampir setiap detik aku menyaksikan kedua orang tuaku dirundung pedih tak berkesudahan. Aku kumpulkan semangat. Aku bangun mimpi. Aku satukan kembali cita-citaku yang telah sirna. Aku mencoba bangkit. Aku tak ingin terus terpuruk. Namun, aku dan kedua orang tuaku tak tahu harus berbuat apa. Aku kembali terkulai. Aku ambruk, aku terpuruk di dalam ruang gelap.

Cahaya kehidupanku mulai menyala ketika aku dan kedua orang tuaku mendengar informasi dari seorang ibu yang sedang rawat jalan di bagian mata RSCM. Ibu ini bercerita bahwa keponakannya adalah seorang tunanetra. Dan dia berkuliah di UNPAD. Dia juga bisa memanfaatkan teknologi. Seketika itu pipiku terasa hangat dilalui butiran air mata yang jatuh dari sudut kedua mataku. Aku bersyukur. Aku bahagia karena aku merasa Allah tidak pernah melupakanku. Kedua mata ibu dan ayahku juga berkaca-kaca. Mereka bersyukur karena akhirnya ada jalan terang untuk anak bungsunya kembali memulai lembaran hidup baru dengan semangat baru.

Di tahun ke empat, kedua orangtuaku berupaya untuk menyekolahkanku kembali. Atas saran dari Yayasan Mitra Netra, mereka membawaku ke Tan Miyat, sebuah asrama tunanetra di komplek Departemen Sosial dekat Bulak Kapal Bekasi Timur. Karena asrama ini hanya memiliki SD, SMP dan sekolah keterampilan pijat, mereka mendaftarkan aku ke SMA YPI 45 Bekasi untuk melanjutkan sekolahku yang sempat terputus selama beberapa tahun. SMA YPI 45 telah secara rutin menjadi sekolah inklusi yang sangat ramah terhadap tunanetra. Aku diterima dengan baik dan cukup diperhatikan. Aku tinggal di asrama Tan Miyat tetapi aku bersekolah berintegrasi dengan siswa berpenglihatan normal di SMA YPI 45 di luar asrama. Lalu, aku belajar Braille, menyelami kehidupan baru dengan status baru sebagai seorang tunanetra dan menimba ilmu serta belajar nilai-nilai kehidupan yang tidak kurasakan sewaktu masih melihat.

Aku sungguh-sungguh membangun mimpi-mimpi besar. Aku yakin mimpi yang akan menentukan masa depanku. Jika aku hanya bermimpi untuk menjadi seorang pemijat, maka aku pun akan menjadi seorang pemijat. Aku hanya kan berusaha untuk mendalami ilmu pijat dan bahkan mungkin aku hanya kan berdoa untuk mendapatkan pasien banyak tiap hari dan memberikan uang tips yang lumayan. Aku tidak puas. Aku ingin melihat kedua orangtuaku bangga. Aku ingin menyaksikan kedua orangtuaku bercerita dengan bangga kepada orang lain tentang prestasi-prestasiku. Aku ingin hari-hari frustrasi mereka selama beberapa tahun terbayar dengan rasa bangga dan kebahagiaan. Aku ingin air mata pedih mereka terbayar dengan air mata syukur dan bahagia.

Di hari pertama aku melangkahkan kaki memasuki asrama Tan Miyat bersama kedua orangtuaku, aku putuskan untuk membunyikan mimpi besarku.

Bu, Taufiq pengen keliling dunia” kataku singkat dan tegas kepada ibuku. Ibu kaget bagai disengat serangga berbahaya. Ibu tersentak. Setelah beberapa saat, beliau menjawab, “Baru mulai bisa sekolah lagi udah kepengen yang macem-macem. Kalo punya mimpi gak usah terlalu tinggi, takut stress.”

Aku tersenyum kecil dan terdiam tak membantah. Tetapi, jauh di dalam relung hatiku keinginan berkeliling dunia telah terpatri dengan kokoh sesaat sebelum aku berbicara. Mimpi besar inilah yang akan menuntun doaku, menuntun langkahku, memecut usahaku dan melemparkan diriku melayang membagikan ilmuku kepada manusia lain di penjuru dunia kelak.

Masa depan masih suram. Tiga tahun bersekolah di SMA YPI 45 belum membantuku melihat cahaya terang. Aku telah berjuang susah payah dengan air mata dan keringat mengukir prestasi walaupun memiliki keterbatasan fisik. Aku menangis terisak-isak sembari mencium tangan guru-guruku saat acara perpisahan. Aku menangis karena aku tak tahu masa depan seperti apa yang akan kujalani. Walaupun aku berada di urutan ketiga dari kurang lebih 240 murid jurusan IPA, aku belum melihat jalan terang untuk mewujudkan mimpi besarku. Sementara teman-teman berbahagia menantikan masa-masa kuliah, kedua orangtuaku memintaku sekolah keterampilan pijat, tidak kuliah. Hatiku hancur. Mimpi masih ada tetapi cahayanya mulai memudar.

Walau kedua orang tuaku adalah guru, mereka tidak memiliki informasi cukup tentang jenis pekerjaan lain untuk tunanetra selain pijat. Di lingkungan tempat tinggalku, ada seorang tunanetra yang memiliki panti pijat cukup besar dan memberi pekerjaan kepada beberapa tunanetra lain untuk mencari penghidupan di tempatnya. Kedua orangtuaku beranggapan ini adalah solusi paling realistis saat itu. Kedua orangtuaku juga mulai sibuk memperhatikan setiap sudut rumah kami untuk menyediakan ruang khusus untuk panti pijatku nanti.

Aku dihantui oleh mimpi-mimpi besarku setiap detik. Aku minggat dari asrama. Aku keluar dari sekolah pijat. Aku ke Bandung untuk belajar music di asrama Wyata Guna.Aku beranggapan mungkin pemusik dapat menjadi gerbang memasuki kota-kota dunia. Namun, aku hanya tahan selama beberapa bulan dan kembali memutar haluan.

Aku memohon bantuan para “reader”, panggilan untuk para mahasiswa di Bandung yang sengaja datang ke asrama Wyata Guna untuk membacakan, merekamkan atau menemani ke toko atau perpustakaan untuk mencari buku atau memberikan bantuan lain yang mereka bisa. Aku yakin bahwa kuliah S1 adalah tiket keliling dunia gratis, mimpi yang tertanam kuat di alam bawah sadarku. Aku katakan bahwa aku ingin segera kuliah baik di kampus negeri ataupun di kampus swasta. Desi, mahasiswi jurusan Matematika ITB angkatan 99, membantuku mendaftar SPMB. Aku didampingi membeli formulir dan juga dibantu mengisi formulir dan melengkapi semua persyaratannya. Teman-teman reader dari jurusan Matematika, Teknik Industri dan Teknik Mesin ITB angkatan 99 dan Psikologi UNPAD angkatan 99 pun berbagi tugas membantu merekamkan materi dan juga mengajarkan mata pelajaran yang berbeda-beda. Dua minggu persiapan telah selesai dan aku pun mengerjakan ujian SPMB di ITB. Aku dibacakan dan dibantu dituliskan semua jawaban yang ku ucapkan oleh Ria, Matematika ITB 99, sahabat yang sampai sekarang aku tak tahu dimana keberadaannya.

Syahrul Maulani, kakak pertamaku yang lulus dari jurusan Biologi UI angkatan 95, menyampaikan kabar gembira dari Riau. Dia sedang di kantor memandangi pengumuman SPMB. Dia ucapkan selamat karena aku diterima di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ, pilihan kedua setelah Komunikasi UI. Kedua orangtuaku terkejut bahagia karena skenario hidup yang telah dipersiapkan oleh Sang Khaliq perlahan bercahaya semakin terang!

Aku menemukan cahaya penuntun menuju gerbang menggapai impianku. Prof. Dr. Arief Rachman, seorang guru besar UNJ dan seorang tokoh pendidikan, membakar semangatku untuk berlari mengejar mimpi besarku. Beliau selalu membuka mata hatiku dalam setiap kuliahnya dan bahkan dalam nasihatnya pada acara pernikahanku untuk terus bermimpi setinggi langit, untuk mengikuti hadits Nabi dan nasihat Imam Syafi’i untuk merantau jauh menimba ilmu.

Prof. Dr. Ilza Mayuni, seorang guru besar UNJ dan saat ini menjabat sebagai Direktur Kopertis di ibukota, selalu mendukungku untuk terus mengukir sejarah. Ketika masih menjadi Dekan FBS UNJ, beliau selalu meluangkan waktu membimbingku untuk memecahkan rekor prestasi. Dengan dukungan beliau dan seluruh dosen, keluarga serta sahabat, aku berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu tiga tahun setengah dengan predikat cum laude. Aku dinobatkan menjadi salah satu wisudawan terbaik UNJ dengan criteria prestasi akademik dan non-akademik. Sahabat-sahabat kuliahku telah sangat berjasa membantuku merekamkan materi kuliah, mencarikan buku dan literatur yang kubutuhkan dan masih banyak lagi yang mereka lakukan untuk membantuku sukses.

Semasa kuliah, aku berusaha sebisaku untuk mengembangkan semua potensiku demi mewujudkan mimpi-mimpiku. Walau untuk membaca buku aku harus men-scan dan meminta kawan atau membayar orang untuk mengedit lalu aku baru bisa baca dengan program pembaca layar yang ku install di komputer, aku tidak “studi-oriented”. Aku berorganisasi dan terpilih menjadi Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan dan Ketua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan BEM Fakultas Bahasa dan Seni UNJ di tahun berikutnya. Aku tak sempat merasakan BEM universitas karena aku segera diwisuda di akhir jabatanku sebagai ketua sebuah departemen.

Dengan tongkat penuntun, aku juga menjadi pedagang kaki lima buku dan novel. Aku juga menjadi broker jasa terjemahan dan barang-barang elektronik. Aku juga berhasil menjadi manager MLM Oriflame. Aku juga memiliki beberapa murid privat. Bahkan aku pernah mendirikan rental komputer dan tempat kursus bahasa Inggris.

Walau berkali-kali aku mengalami perlakuan diskriminasi untuk menimba ilmu, melamar pekerjaan dan masih banyak lagi, aku akhirnya berhasil mewujudkan mimpiku. Di semester ke enam kuliah S1, aku memperoleh beasiswa senilai 20 juta untuk terbang ke Jepang karena makalahku dinyatakan lulus seleksi untuk dipresentasikan di 4th Asia TEFL International Conference. Aku pun berangkat seorang diri untuk menjadi pemakalah diantara 449 pemakalah professional yang merupakan praktisi dan guru-guru besar kampus terkemuka dari seluruh dunia. Di tahun berikutnya aku mendapatkan beasiswa penyelesaian skripsi dari Korean Exchange Bank.

Di tahun berikutnya, setelah empat kali gagal melamar beasiswa S2, aku berhasil memperoleh beasiswa MA in Muslim Cultures di London dari Aga Khan University.Namun, di tengah studiku, istriku mengalami kehamilan yang berat sehingga dia harus dirawat di University College Hospital London sampai tiga kali. Kami adalah pasangan muda yang belum paham bagaimana cara membuat perencanaan keluarga. Akhirnya kampusku menyarankan agar aku cuti kuliah dan kembali ke Indonesia. Aku tidak frustrasi. Aku yakin Allah sedang mempersiapkan skenario yang terbaik untukku dan keluargaku.Walau aku gagal melanjutkan MA ku di London karena beberapa masalah, Allah menerbangkanku lagi ke beberapa negara.

Sebelum aku meninggalkan London, aku nekat mencoba beasiswa ICT training dari Japan Braille Library yang diselenggarakan di Malaysia. Ternyata, aku lulus dan setelah pulang dari London, aku terbang ke Penang Malaysia. Aku pulang membawa ilmu baru, keterampilan baru, laptop baru dan segala kelengkapannya serta sejumlah uang saku yang ku hemat-hemat untuk biaya persalinan istriku.

Setelah itu, aku diterima kerja di kantorku yang sekarang, Center for Civic Education Indonesia, sebuah yayasan yang menjalankan program-program pendidikan atas dana pemerintah Amerika Serikat. Baru beberapa bulan mengajar sebagai pengajar untuk program beasiswa belajar bahasa Inggris gratis selama dua tahun untuk ratusan murid SMA/SMK dari keluarga yang tidak mampu, aku memperoleh beasiswa dari US Department of State untuk menghadiri teacher training and workshop selama tiga minggu di INTO Oregon State University, Corvallis, USA. Persis dua tahun berikutnya aku mendapat beasiswa lagi dari US Department of State untuk menimba ilmu pengajaran bahasa Inggris selama 10 minggu dari University of Oregon, Eugene USA.

Saat ini, aku sedang menjalani hari-hari penuh harapan untuk mewujudkan sederetan mimpi-mimpiku yang lain. Aku baru saja baca email bahwa aku lulus seleksi untukAustralian Leadership Award yang akan mulai tanggal 27 Agustus dan berakhir tanggal 21 September. Sementara, aku dijadwalkan mengikuti Pre-Departure Training mulai selama delapan minggu mulai dari 16 Juli hingga 21 September sebelum memulai kuliah di Australia dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship. Aku bingung harus bagaimana. Alhamdulillah Allah merekap semua doaku dalam satu tahun. Aku juga sedang berusaha merampungkan novel perdanaku yang akan menjadi pembuka menuju pencapaian daftar panjang mimpi-mimpi besarku.

Pesanku untuk masyarakat Indonesia:

Bermimpilah! Biarkanlah anak-anak kita, anak-anak didik kita bermimpi sesukanya selama mimpi itu positif. Sering kali kata “mustahil” memiliki makna yang relatif. Kata ini sangat tergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Pergi ke negara lain adalah hal yang mustahil bagi kedua orangtuaku sebelum akhirnya aku buktikan bisa. Kuliah juga mungkin untuk sebagian masyarakat kita masih merupakan hal yang mustahil. Sering kali, hal yang dianggap mustahil setelah berusaha keras menjadi mungkin. Mimpi akan menentukan masa depan anak-anak kita. Mimpi akan menentukan masa depan generasi penerus kita. Mimpi akan menentukan bangsa kita akan menjadi apa kelak. Mimpi akan menuntun doa kita, menuntun langkah kita, memecut usaha kita untuk terus berjuang, dan mimpi akan melemparkan kita semua melayang terbang menggapai bintang berkilauan.

Taufiq Effendi



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes