Iman tak selalunya stabil. Ia mengalami fluktuasi naik dan turun. Ada kalanya hati ini bersemangat untuk beribadah. Tapi di sisi lain, beribadah serasa enggan. Semangat yang dulu membara seakan sirna ditelan masa. Entah kemana perginya semangat yang dulu pernah ada.
Bila itu yang terjadi, maka itulah penyakit futur. Secara ringkas, futur dapat dikatakan sebagai satu keadaan dimana iman melemah. Dan melemahnya iman dapat dilihat dengan berkurangnya amalan-amalan harian yang biasanya dilakukan. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas ibadah.
Futur dapat menghampiri siapapun tanpa terkecuali. Mulai dari orang awam, hingga mereka yang telah menjadi aktivis dakwah dan pergerakan. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi penggerak dakwah. Lantas apa jadinya apabila terjangkiti futur?
Dr. Sayyid Muhammad Nuh, dalam bukunya ‘Afatun fie ath-Thoriq menyebutkan bahwa futur merupakan penyakit yang sering kali menjangkiti aktivis dakwah. Bahkan penyakit ini menjadi salah satu penyebab kegagalan dakwah yang paling banyak terjadi.
Factor penyebab kefuturan ini sangat banyak. Diantaranya: sikap ekstrem atau berlebihan dalam menjalankan ibadah, melampaui batas dalam hal mubah, memisahkan diri darijama’ah dan mengutamakan uzlah (menyendiri), menyepelekan kewajiban harian, masuknya sesuatu yang haram atau bernilai syubhat ke dalam tubuh, dan berlarut-larut dalam melakukan maksiat serta meremehkan dosa-dosa kecil.
Dus, ketika futur mulai menjangkiti, maka cara yang paling efektif untuk menanggulanginya adalah sadar diri. Kemudian dengan menjaga diri agar senantiasa tetap berada di jalan kebaikan. Sebagaimana sabda rasulullah saw:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شَرَّةً، وَالشَّرَّةُ إِلَى فَتْرَةٍ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدْ اهْتَدَى، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ ضَلَّ
“Sesungguhnya setiap amal memiliki masa semangat. Dan setiap masa semangat ada masa futur. Maka barangsiapa ketika futur tetap berada dalam sunnah, maka dia telah mendapat petunjuk. Dan barangsiapa ketika futur menyimpang dari selainnya (-sunnah-) maka dia telah tersesat.” (H.R. Ahmad)
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar